PAPUA,jurnalntt.com| Seperti di wilayah lainnya di Indonesia, Cina di Papua memiliki sejarah panjang sejak ratusan tahun lalu, beberapa catatan pelaut dari Dinasti Tang menyebutan perjumpaannya dengan orang Papua. Perjumpaan ini menyebabkan terjadinya pertukaran material kebudayaan sejak tahun 1400. Di Papua, keramik Cina dan manik-manik merupakan peninggalan yang menjadi budaya dan “ritual” dalam prosesi “adat” di Papua. Dari Papua, ada burung Cenderawasih, teripang, kulit kayu masohi sebagai alat barter dengan para pedagang Cina.
Para pedagang etnis Cina yang ada kemudian menetap di pesisir Utara (Manokwari, Biak, Serui, Sarmi dan Jayapura), Selatan Papua (Fakfak, Bintuni, Merauke) dan di Doom, Sorong.
Di Papua “Cina Papua” tidak membangun sebuah komunitas yang ekslusif, tatapi mereka membaur, menikah dengan masyarakat setempat. Di Abepura, Jayapura meskipun bernama Kamp Cina, namun tak nampak simbol-simbol Cina. Yang tinggal di kawasan ini pun beragam, ada orang Papua, Maluku dan Cina. Kam Cina ada sejak tahun 1950-an di masa pemerintah Belanda.
Di ujung jalan Ayapo terdapat bekas sebuah pabrik minuman lemon. Pemiliknya bernama Ongko. Umurnya sudah lebih dari 60 tahun. Ia sering sakit dan tinggal sendirian. Kabar terakhir ia telah pulang ke Cina, menyusul saudara-saudaranya.
Saat perayaan 50 tahun Hollandia (Jayapura), di tampilkan berbagai acara termasuk parade budaya, tarian dari Belanda, Cina dan suku-suku di Papua. Masyarakat Biak melakukan barapen dan jalan di atas batu panas, dari wilayah kepala burung, tarian tumbu tanah.
Saat masa transisi dari Belanda ke Indonesia banyak orang Cina yang mengungsi, para pengusaha memindahkan modalnya ke Singapura, Hongkong dan Eropa. Beberapa diantaranya ada yang ke Australia dan Amerika.