
MATALOKO, jurnalntt.com| 29 Mei 2025 menjadi Hari Anti-Tambang (HATAM) kembali menjadi momentum untuk memperkuat perlawanan terhadap industri ekstraktif yang mengancam ruang hidup masyarakat.
Salah satu ruang kolektif yang dirancang adalah seminar publik bertema, “Ekstraktivisme, Kekerasan Negara-Korporasi, dan Perlawanan Rakyat”.
Seminar publik yang berlangsung di Kemah Tabor, Mataloko tersebut menghadirkan berbagai komunitas warga terdampak dari Sumatera hingga Pulau Flores, para biarawan Katolik, hingga pejabat pemerintahan dan anggota DPRD dari beberapa kabupaten di Pulau Flores.
Diskusi dalam seminar publik ini tak hanya mengurai logika ekonomi ekstraktif, tetapi juga menghadirkan suara komunitas terdampak — yang selama ini dibungkam oleh rezim oligarki ekstraktif.
Acara ini menjadi ruang bagi berbagai pihak untuk mengkritisi ekspansi industri ekstraktif yang semakin mengancam ruang hidup, membangun solidaritas lintas komunitas, dan memperkuat strategi perlawanan terhadap eksploitasi sumber daya alam.
Diskusi utama dalam seminar ini berfokus pada korupsi dalam industri ekstraktif, bagaimana regulasi digunakan untuk menormalisasi eksploitasi, serta bagaimana negara dan korporasi terus bersekongkol demi keuntungan ekonomi segelintir elite.
Simon Suban Tukan, SVD membuka diskusi dengan materi, “Tanah adalah Tubuh, Air adalah Darah: Teologi Tanah dalam Semangat Katolik”.
Pater Suban — panggilan akrabnya — memaparkan tanah dan air adalah simbol Ilahi yang mencerminkan anugerah dan keberkahan bagi kehidupan. Sebagai sumber berkat, keduanya harus dihormati dan dijaga agar tetap menopang keseimbangan ekologi serta kesejahteraan masyarakat.
Ia juga memaparkan eksploitasi tanpa batas terhadap tanah dan air bukan hanya mengancam lingkungan, tetapi juga merusak makna spiritual dan kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. “Ada kesatuan yang erat antara manusia dengan seluruh ciptaan yang ada di sekitarnya. Tanah adalah bagian dari tubuh manusia dan Dia adalah Ibu,” ucap Pater Suban.
Pemaparan dilanjutkan oleh Hendro Sengkoyo yang membawakan materi, “Energi Kotor yang Diklaim Bersih: Menyingkap Luka di Balik Tambang Panas Bumi.” Hendro membongkar narasi palsu yang disebarkan oleh pemerintah dan korporasi untuk melegitimasi proyek geotermal sebagai solusi energi hijau. Faktanya, proyek panas bumi menghadirkan berbagai daya rusak yang tak dapat dipulihkan dan mengancam keselamatan komunitas warga.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hingga April 2025, terdapat 63 wilayah kerja panas bumi (WKP) yang tersebar dari barat hingga timur Indonesia dengan luas 3.570.769 hektare. Di satu Pulau Flores saja, terdapat delapan WKP dengan luas total 142.652 hektare, satu wilayah penugasan survei pendahuluan eksplorasi (WSPSE) seluas 21.330 hektare. Pulau ini pun disematkan label sebagai ‘Pulau Panas Bumi’ oleh pemerintah.
Negara seolah tak jera menumbalkan keselamatan warganya. Sebab, di Mataloko, Flores, operasi pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) telah menyebabkan tenggelamnya lahan persawahan, pencemaran air, munculnya penyakit kulit, dan amblesan tanah di sekitar pemukiman penduduk.
Meskipun proyek ini gagal, dampak yang ditinggalkan tetap berlangsung selamanya dan menjadi beban bagi warga Mataloko.
Diskusi semakin tajam dengan paparan dari Siti Maemunah, yang mengulas materi “Tanah, Tubuh, dan Perlawanan: Perempuan dalam Pusaran Ekstraktivisme”. Ia menjelaskan ekstraktivisme tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga menghancurkan kehidupan sosial dan ekonomi perempuan yang selama ini memiliki peran krusial dalam keberlanjutan komunitas.
“Perempuan di garda depan melawan ekstraktivisme. Perempuan melawan karena merasa seluruh kehidupannya sangat berkaitan dengan alam,” kata Maemunah.
Sebagai penutup, sesi kesaksian warga terdampak dari Dieng, Sarulla, Flores-Lembata, Mandailing Natal, dan Gunung Gede menjadi bukti nyata bagaimana industri ekstraktif telah meninggalkan jejak kehancuran di berbagai wilayah. Warga menceritakan pengalaman mereka menghadapi perampasan tanah, pencemaran sumber air, serta kekerasan yang dilakukan aparat demi melindungi kepentingan korporasi.
Seminar publik ini menegaskan bahwa ekstraktivisme bukan hanya tentang eksploitasi sumber daya, tetapi juga tentang kontrol politik dan ekonomi yang secara sistematis mempertahankan ketimpangan dan ketidakadilan.
Seruan HATAM 2025
Hari Anti-Tambang (HATAM), yang diperingati setiap 29 Mei, lahir dari luka ekologis dan sosial akibat semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, pada 2006—sebuah bencana buatan manusia yang hingga hari ini belum sepenuhnya dipertanggungjawabkan.
Gagasan memperingati HATAM pertama kali muncul dalam Pertemuan Nasional JATAM pada 2010, dan sejak 2011, peringatan ini mulai dirayakan secara luas. Seiring waktu, HATAM berkembang menjadi ruang kolektif perlawanan, tempat warga korban dan seluruh komunitas lintas suku, adat, agama, budaya, serta berbagai organisasi untuk bersatu menyuarakan penolakan terhadap kekerasan industri ekstraktif yang merampas ruang hidup dan masa depan.
HATAM bukan hanya milik JATAM, tapi juga milik para warga korban yang kehilangan tanah dan rumah, para aktivis yang terus diserang karena membela lingkungan, serta para jurnalis yang tak henti mengabarkan ketidakadilan meski menghadapi tekanan dan sensor. Mereka semua adalah bagian dari ekosistem perlawanan yang menjadikan HATAM bukan sekadar seremoni, tetapi momentum kolektif untuk menyuarakan krisis yang kerap dibungkam.
Di tengah krisis iklim dan kehancuran ekologis yang semakin meluas, industri ekstraktif terus diperkuat dengan dalih pembangunan. Tanah diambil bukan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi untuk kepentingan segelintir pemodal. Air dijadikan komoditas yang menguntungkan korporasi, sementara udara dicemari demi menghasilkan logam dan energi yang diklaim sebagai simbol kemajuan. HATAM hadir sebagai perlawanan terhadap sistem yang mengorbankan hidup manusia dan kelestarian lingkungan atas nama pertumbuhan ekonomi.
Ekstraktivisme bukan sekadar industri tambang—ia adalah proyek ideologis yang dikemas dengan jargon ekonomi hijau, dilegalkan dengan regulasi yang berpihak pada investor, dan dijaga oleh aparat yang siap membungkam perlawanan rakyat. HATAM 2025 akan diselenggarakan serentak pada 29 Mei 2025 dari Sumatera Utara, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, hingga Maluku Utara dan Sangihe.
Hari ini, HATAM 2025 menegaskan penolakan terhadap sistem pembangunan yang hanya menguntungkan oligarki, sekaligus menyusun ulang narasi pembangunan dari perspektif rakyat. Secara kolektif, kita harus terus menggandakan solidaritas, menggalang perlawanan, dan menyebarluaskan kebenaran yang selama ini berusaha dibungkam. *
